Search This Blog

Translate

Nasib Hasil Pilkada Padang Putaran Kedua 2014

Pascaputusan Mahkamah Konstitusi terkait per­selisihan hasil Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wa­li Kota Padang Tahun 2013, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Padang telah menetapkan jad­wal pemilihan putaran ke­dua pa­da tanggal 16 Januari men­da­tang. Sayangnya, rencana ter­­sebut tidak akan terlak­sana sesuai jadwal. Sebab, sam­pai saat ini anggaran pe­nye­­lenggaraan putaran ke­dua tersebut belum tersedia.

Bukan karena tidak ada uang, melainkan karena wali kota belum bersedia menan­da­tangani peraturan wali ko­ta sebagai dasar penetapan Do­kumen Pelaksanaan Ang­ga­ran Pejabat Pengelola Ke­uangan Daerah (DPA-PPKD) be­lanja hibah Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Ke­pala Daerah. Wali Kota berasalan, KPU Padang ti­dak kooperatif. Sebaliknya, KPU Padang mem­ban­tah tuduhan tersebut (Padang Ekspres, 7/1).

Jika alasan penolakan persetujuan anggaran ter­sebut hendak didalami, penilaian tidak koope­ra­tif­nya KPU Padang dapat dibaca secara berbeda-beda oleh banyak kalangan.

Jika sikap tidak kooperatif hanya karena tidak menghadiri rapat seperti yang disampaikan, tentu tidak cukup alasan bagi wali kota untuk tidak menyetujui anggaran. Sebab, kepentingan pilkada bukanlah urusan KPU Padang semata. Melainkan agenda seluruh warga kota. Jika tetap hendak “memberi pelajaran” bagi komisioner KPU Padang, barangkali wali kota perlu mencari cara lain, tetapi bukan dengan tidak menyetujui biaya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan pilkada. Lagi pula, bukankah kesuksesan penyelenggaraan pilkada Kota Padang juga akan menjadi salah satu indikator keberhasilan wali kota dalam menghantarkan transisi kepemimpinan setelah masa jabatannya berakhir?

Lebih jauh dari itu, jika hendak dilihat dari sudut pandang hukum, mungkin saja wali kota menganggap tidak cukup alasan baginya untuk menyetujui penggunaan anggaran yang belum disahkan melalui APBD. Bila ini yang jadi soal, sebetulnya sudah terjawab dengan ketentuan Permendagri Nomor 57 Tahun 2011. Di mana, jika anggaran pilkada belum dianggarkan dalam APBD, maka pemberian dana hibah pilkada dapat dilakukan melalui perwako setelah berkonsultasi dengan DPRD. Dengan demikian, terdapat alasan hukum dan tidak akan terjadi pelanggaran jika wali kota menandatangani perwako dana hibah pilkada Kota Padang putaran kedua.

Selain dua alasan di atas, kebijakan terkait anggaran penyelenggaraan pilkada juga harus dilihat secara lebih komprehensif. Di mana, pilkada merupakan sebuah proses transisi kekuasaan yang konstitusional dan menjadi agenda rakyat. Sehingga apa pun persoalan yang terjadi di seputar hubungan antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam penyelenggaraannya jangan sampai dibawa ke ranah privat, ke ranah hubungan personal antara wali kota dengan komisioner KPU Padang.

Dalam arti, jika terdapat persoalan seperti antara KPU daerah dengan pemerintah daerah, maka yang harus dikedepankan adalah kepentingan umum dalam penyelenggaraan pilkada. Bukan kepentingan masing-masing institusi yang pada prinsipnya hanya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat semata.

Oleh karena itu, ketersinggungan antar-institusi harus dikelola secara proporsional, sehingga kepentingan yang jauh lebih luas dapat terselamatkan. Dalam hal ini, tentunya kearifan dari masing-masing pihak, baik KPU Padang dan wali kota Padang dituntut hadir dalam menyelesaikan persoalan yang ada.

Hal itu sekaligus untuk menghindari agar penyelenggaraan urusan negara dan penanganan urusan publik tidak terjebak pada sikap kekanak-kanakan.

Jika Pemko Padang bersikukuh tidak menyetujui pencairan dana hibah pilkada menggunakan perwako, dapat dipastikan Pilkada Padang tidak akan terlaksana sebelum Maret 2014. Seiring dengan itu, pilkada putaran kedua dapat saja terundur hingga selesainya pemilu presiden pada akhir tahun ini.

Apabila terundur dengan waktu yang demikian panjang, banyak dampak negatif yang diperkirakan akan mengiringinya. Di antaranya, Pemko Padang akan dipimpin seorang penjabat wali kota. Dengan kewenangan yang sangat terbatas, tentunya seorang penjabat wali kota tidak akan bisa mengambil berbagai kebijakan strategis, sehingga pembangunan tersendat. Berbagai agenda strategis seperti penataan kebersihan kota, kemacetan, pembangunan berbagai fasilitas pemerintah dan fasilitas publik pascagempa tidak akan berjalan sesuai rencana.

Selain itu, selama proses penundaan pilkada, Kota Padang akan menjadi arena pertarungan politik yang tidak menentukan. Panasnya suasana politik menjelang pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden juga akan menambah kenaikan suhu politik pilkada.

Setidak-tidaknya akan terjadi di level elite dan akan memiliki dampak ikutan lainnya. Berbagai gesekan tajam akan terjadi. Alhasil, akan berdampak buruk bagi stabilitas politik di tingkat kota.

Sementara itu, di level masyarakat dikhawatirkan akan terjadi kejenuhan. Tingkat partisipasi dalam pilkada akan semakin menurun. Sebab, pilkada akan menjadi putaran terakhir dari empat kali proses pemungutan suara yang akan dilaksanakan tahun 2014. Kejenuhan yang berujung pada menurunnya tingkat partisipasi akan berkorelasi dengan rendahnya tingkat legitimasi wali kota terpilih. Situasi ini juga akan memberikan dampak psikologis yang tidak sehat dalam penyelenggaraan pemerintahan kota lima tahun mendatang.

Oleh karena itu, sudah selayaknya semua pemangku kepentingan di Padang tetap berpikir bahwa pilkada putaran kedua tetap harus terlaksana sebelum pemilu legislatif dan pilpres. Hal itu ditujukan agar semua kemungkinan dampak negatif dapat diantisipasi sejak awal.

Satu-satunya jalan adalah bagaimana semua pihak, terutama KPU Padang, wali kota dan DPRD Padang saling mendukung dalam menyukseskan pilkada putaran kedua. Warga Padang tentu masih berharap agar elite politik kota ini tidak mencontoh perilaku destruktif yang dipertontonkan elite politik di berbagai daerah lainnya dalam penyelenggaraan pilkada

Powered by Blogger.